hei, hei,

Salam buat yang lagi ngeliat blog saya.
selamat membaca.

MORATORIUM

MORATORIUM
BELAJAR DARI MORATORIUM "TEMPO DOELOE"

Sebuah mosi dengan tuntutan moratorium pertambangan, terjadi di masa silam. Meski hanya berlaku ad hoc (einmaligh), kejadian itu memberi pelajaran berharga. Minimal membuktikan bahwa gagasan moratorium versi JATAM adalah historis. Contoh lain, Pemda Riau pernah pula menerbitkan moratorium pertambangan pasir, walau hanya dalam bentuk Perda (Kompas, 30/01/2001)

Wacana moratorium pertambangan JATAM masuk babak baru. Bila kemarin-kemarin melulu menjelaskan arti penting jeda sementara bagi kebijakan dan praktek pertambangan warisan orba, kini terbit sejumlah argumen yuridisnya. Pentingnya melampirkan temuan baru yang memperkuat tuntutan moratorium menjadi niscaya. Bila tidak, proposal moratorium JATAM terasa banal (kehilangan daya tarik).

Sekedar informasi, popularitas kata moratorium boleh dikata Cuma kalah satu kelas dibanding kata reformasi. Buktinya, selain pemerintah dan militer, kata ini digunakan oleh aktivis NGO's lainnya. Semisal usulan moratorium utang dari Indonesian Debtwatch, atau moratorium ilegal logging. Mengutip pernyataan Arif Budiman, bila terlalu sering dipakai, sebuah kata akan mengalami "inflasi". Kata reformasi, misalnya, kini mengalami tahap inflasi saking sering digunakan bahkan oleh para penentangnya.

Nah, agar tak terjadi degradasi makna, gagasan moratorium pertambangan harus selalu diperkaya dengan ide-ide segar dan argumentasI terbaru.

Adalah Juangga Mangasi, Sekjen Perhapi yang menemukan peristiwa politik di bidang tambang yang kasusnya paralel dengan ide moratorium ala JATAM. Berikutnya, penelusuran lebih serius dan intens dilakukan Hassanudin, Staf JATAM, berkaitan dengan moratorium "tempo doeloe" itu.

SEBUAH MOSI

Sebelum moratorium terjadi, di zaman orde lama terdapat kondisi dan keinginan yang menyebabkan adanya mosi, hal itu tergambar dari isi mosi Mr. Teuku Muhamad Hasan. Latar keluarnya mosi, tak lain akibat kebutuhan pengaturan hasil tambang untuk kemakmuran rakyat. Sebab lainnya, pengawasan (monitoring) atas hasil tambang tak berjalan semestinya. Maksudnya, pemerintah Indonesia waktu itu tak memiliki angka pasti tentang hasil produksi tambang di Indonesia. Alasan berikutnya, menyangkut keperluan menerap pajak dan bea cukai untuk hasil tambang.

Sekilas, latar kelahiran mosi itu semata guna kepentingan ekonomi dan nasionalisme. Lagipula, mosi yang kemudian menjadi keputusan DPR-RI tersebut hanya berlaku untuk satu keperluan (ad hoc, einmaligh), yaitu pembatalan izin pertambangan. Namun satu hal pasti, usulan lahir akibat kondisi silang sengkarut perizinan tambang yang berkangsung tanpa deteksi pasti. Mirip-mirip dengan kenyataan industri tambang dewasa ini.

PILIHAN TEPAT

Pelajaran lain, langkah mewujudkan moratorium memang butuh legitimasi hukum (apapun bentuknya). Mosi Teuku Hasan, lagi-lagi sebagai contoh, setelah melalui berbagai ganjalan, berhasil menjadi Keputusan DPR RI Nomor 47/K/1951 (Sajuti Thalib, 1971:18). Keputusan itu sukses "menelan" 3272 izin kontrak dan konsesi bidang pertambangan. Rinciannya: 60 buah izin penyelidikan umum; 66 kontrak 5a eksploitasi; 273 kontrak eksplorasi dan eksploitasi; 2871 permohonan konsesi eksploitasi; dan 4 buah konsesi eksploitasi.

Tak kurang penting, dari kasus itu, adalah fungsi keputusan itu yang mampu memutus penyakit salah urus perizinan yang diwariskan kebijakan lama. Mosi Teuku Hasan, paling tidak, mendeligitimasi kebijakan pendahulunya dalam bidang pertambangan, yaitu Mizn Wet warisan kolonial Belanda. Sementara moratorium dari JATAM, niatnya memupus praktek busuk pertambangan akibat kebijakan yang keliru.

DASAR HUKUM

Persoalannya, saat ini prosedur hukum seperti apa yang bisa dipakai guna mengegolkan ide moratorium? Mestikah melewati jalan berbelit seperti yang dialami mosi dari Teuku Hasan? Atau bagaimana?

Menurut Staf JATAM, Hassanudin, moratorium bisa diberlakukan secara legal melalui Perpu (atau aturan pemerintah). Alasannya, proses pembuatannya lebih cepat. Perpu adalah produk hukum yang dibuat oleh pemerintah, untuk kemudian disetujui oleh DPR. Jika menggunakan prosedur UU, jalannya lebih rumit. Sebab perlu langkah-langkah politik berliku. Anda setuju?

SUMBER:
Sajuti Thalib, 1971: 18, Draft Makalah Hassanudin, tahun 2001, belum dipublikasikan. Harian Kompas, edisi 30 Januari 2001.







BERITA EXXON MOBIL OIL INDONESIA, DOMINASI EKONOMI DAN PELAKU BISNIS

Objektivitas media adalah "subjektivitas" mereka terhadap fakta-fakta. Terbukti, dalam soal Exxon Mobil Oil, media massa kita memasukan agenda ekonomi sesuai dengan subyektivitas mereka bahwa berita itulah yang paling dibutuhkan publik. Benarkah?

"Bagaimanapun", seperti ditulis David S. Broder, wartawan The Washington Post dan pemenang penghargaan Pulitzer, "media tak benar-benar mampu menyuguh realitas secara objektif."

Percayalah, ini memang musykil. Dalam mengeset isu, dikenal sebuah kata: framming, atau pembingkaian. Dalam kasus Exxon Mobil Oil, yang menghiasi media massa di tanah air ---dua minggu terakhir, "pembingkaian" oleh media adalah kepentingan ekonomi dan siapa yang bertanggung jawab atas pemogokan Exxon.

Di sisi lain, realitas sosiologis, menyangkut kekerasan dan derita masyarakat ACEH atas kehadiran industri tambang, nyaris tak muncul (kecuali dalam sebuah liputan khusus oleh Detik.com). Hingga terakhir ini, setidaknya dalam pengamatan JATAM, belum ada media yang menampilkan fakta-fakta kerusakan lingkungan akibat operasionalisasi Exxon.

Rupanya, menyitir Dennis McQuail, media dalam membesut warta (kasus, isu, peristiwa, dll) selalu melihat "apa yang dibutuhkan publik" dan juga "tawar menawar antara yang menarik dan yang dibutuhakn". Soal "apa yang dibutuhkan publik", teoritis disebut dengan Agenda Seting, sedangkan "proses tawar menawar" adalah Used and Gratification.

Coba kita masukan item Exxon Mobil Oil Indonesia. Kebutuhan publik mana yang punya agenda besar terhadap Exxon. Sementara itu, publik juga terpetakan dalam kelompok-kelompok, misalnya, NGO's, Dunia usaha, Pemerintah, Akademisi, Mahasiswa, Buruh, Aktivis, dan semacamnya.

Berikutnya, tinggal menghitung kelompok publik mana yang paling dominan atau memiliki kepentingan terkuat terhadap suatu isu. Kembali ke Exxon, dalam analisis JATAM, yang dominan dan menjadi nara sumber utama adalah mereka yang berkecimpung dalam bisnis dan dunia usaha. Termasuk di dalamnya adalah pengamat, peneliti dari lembaga independen, dan praktisi bisnis non pertambangan. Materi berita dengan sendirinya diwarnai dengan isu-isu ekonomi, investasi, keamanan usaha, sikap wait and see, kerugian devisa, serta masa depan indonesia. Sementara, ragam komentar mereka, terpapar dalam prediksi, konfirmasi, tuntutan, dan bahkan protes.


SELALU HANYA BISNIS

Termasuk istimewa, berita Exxon, terpajang dari hampir semua jenis rubrik dalam media massa (dalam hal ini koran). Bahkan Detik.com (sebuah portal internet untuk umum), menampilkan "item" khusus tentang Liputan Utama Exxon Mobil Indonesia. Sementara untuk media cetak yang kami amati (Kompas, Republika, dan Suara Pembaruan), mereka menampilkan peristiwa pemogokan Exxon dalam hampir semua rubrik. Ketiga koran tersebut, bahkan, mengulasnya dalam rubrik Editorial (atau Tajuk Rencana) lebih dari satu kali.

Siapapun tahu, Editorial adalah rubrik penting yang menunjukkan perhatian khusus sebuah media terhadap suatu isu. Sayangnya, penting menurut media, belum tentu penting untuk masyarakat korban pertambangan di sekitar Zona Industri Lhok Seumawe. (EB)


SUMBER: Kliping Pers JATAM (Kompas, Republika, dan Suara Pembaruan), edisi Februari- Maret 2001























PEMOGOKAN EXXON MOBIL OIL: SISI LAIN INDUSTRI TAMBANG DI ACEH

Mengikuti kasus Exxon, jelas tak cukup hanya dengan mengakses lewat media massa. Persoalan Exxon tak sederhana, bahkan untuk sekedar memahaminya butuh beragam perspektif. Sekedar membantu anda, kami hadirkan intisari dunia pertambangan di ACEH dari Data Base JATAM

Industrialisasi tambang di ACEH, dengan cepat mengubah kultur agraris menjadi bercorak industri. Perubahan ini berlangsung cepat, tanpa proses adaptasi secara natural, dan disana-sini terlihat dipaksakan.

Proses "pergantian wajah" itu berlangsung ketika masuknya industri tambang Mobil Oil Indonesia dan PT Arun, pada sekitar tahun 1951. Kedua perusahaan ini menjadi cikal bakal munculnya industri petrokimia skala besar lainnya, seperti industri pupuk PT. PIM, AAF, dan Pabrik Kertas PT. KKA. Keberadaan perusahaan-perusahaan besar itu akhirnya membentuk sebuah zona industri khusus, yang dikenal sebagai Zona Industri Lhokseumawe (ZIS). Kawasan inilah kemudian yang membuat relasi sosial di lingkungan sekitar menjadi tidak sehat, lantaran ZIS berkembang menjadi enclave (daerah kantung yang tertutup dan ekslusif).

Seperti biasa, pada awalnya, kehadiran zona industri itu menyita lahan cukup besar. Akibatnya, selain mengubah secara radikal rona lingkungan hidup, problem derivat yang kemudian menonjol adalah berupa konflik-konflik agraria, yang selalu berakhir dengan pembungkaman oleh militer.

KERUGIAN

Korban lain, siapa lagi kalau bukan lingkungan. Dari semula hutan, sawah, kebun-kebun dan pemukiman tradisional, menjadi kawasan elite didominasi bangunan raksasa proyek-proyek industri dengan berbagai fasilitas penunjangnnya. Dan masyarakat lokal (bersamaan dengan datangnya para pekerja migran) tersisih ke pinggiran. Mereka kalah saing dengan tenaga terampil dan terdidik yang datang dari luar. Dari berbagai kasus pertambangan, tak jarang terjadi "bedol" desa atau forced displacement.

Sementara bagi yang bertahan, mau tak mau harus menyaksikan disparitas pendapatan yang jomplang. Otomatis, mereka harus ikut arus, membayar biaya ekonomi lebih besar sesuai dengan harga dalam kompleks pertambangan. Belum lagi secara kultural, penduduk lokal menjadi penonton atas atraksi kemewahan dan gaya hidup orang-orang pertambangan. Ekses negatif pun merubung, kehidupan malam, hingar bingar hiburan dan rona budaya yang tak pernah dialami sebelumnya.

Perekonomian rakyat yang diharapkan tumbuh, juga tak kunjung berkembang. Bahkan industri pertambangan secanggih MOI dan Arun bagai tertutup rapat dari peluang dan akses masyarakat lokal untuk kucuran nilai tambah (value added) atas keberadaannya di bumi Aceh.
Kepedulian perusahaan terhadap warga di sekitarnya pun begitu kecil. Alokasi secuil keuntungan perusahaan melalui pos Community Development (CD) sangat minim dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Terbukti sekian lama beroperasi, sama sekali belum terbentuk komunitas pengusaha kecil yang handal di Aceh dalam jumlah signifikan.

Khusus tentang ketakpedulian Exxon Mobil Oil. Perusahan ini pernah mengalami kebocoran asap dari katup Cluster II MOI. Peristiwa ini memprihatinkan, karena antisipasinya dilakukan sangat lamban. Padahal, kejadian itu menyebabkan tercemarnya sumur penduduk di enam desa di Kecamatan Tanah Luas Aceh Utara.

EXXON DAN MILITER

Sisi gelap MOI yang lain adalah sumbangan logistik dan peralatan (serta lahan untuk pembantaian) bagi militer Indonesia semasa pemberlakuan DOM (daerah operasi militer) di ACEH, antara 1989-1998). Setidaknya, MOI membangun tiang pancang utama (selain negara dan militer) dalam seri pembantaian manusia-manusia ACEH.

Adalah Michael Shari, wartawan Business Week Singapore yang melakukan investigasi tentang keterlibatan MOI dalam tragedi kemanusiaan yang menelan puluhan ribu rakyat tak berdosa. Reportasi Michael, yang terbit pada 28 Desember 1998, mengungkap andil MOI dan PT. Arun untuk kelancaran operasi militer Indonesia. MOI dan Arun, tulisnya, punya "bodyguards" resmi untuk mengamankan usaha mereka di Aceh, yaitu dengan nama Pos A-13 di Landing lapangan gas milik Mobil dan Arun. Pos itu dapat dicapai dalam beberapa menit dengan mobil dari lapangan terbang MOI dan juga dekat dengan satu lokasi perumahan MOI yang dikenal sebagai Camp Lajang. Dan tempat itulah yang menjadi saksi kebiadaban serdadu indonesia semasa pemberlakuan DOM. (EB)


SUMBER: Makalah M. Ibrahim, Industrialisasi Tambang di ACEH, Enclave Ekonomi, Militer, dan
Keserakahan Sentralistik. Tulisan Otto Syamsuddin Ishak, Cordova Post, 12 Maret 2001, Aceh Rugi?








BAGAIMANA EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI DILAKUKAN?

Pantaskah industri tambang dikenakan pasal strict liability? Benarkah operasi keruk itu bersifat seriusly dangerous (ancaman serius) bagi lingkungan. Berikut kami nukilkan sedikit uraian tentang teknik eksplorasi dan eksploitasi dalam pertambangan.

Menurut Sukandarrumidi, dalam buku berjudul Bahan Galian Industri, (1990), tahap awal eksplorasi adalah pemetaan geologi permukaan tanah untuk atas singkapan batuan di permukaan. Untuk mendapatkan data geologi lebih lanjut dalam usaha untuk mengetahui jumlah cadangan/ ketebalan perlapisan dan kualitas mutu bahan galian, maka diperlukan usaha pemboran inti, dan sumur uji (test pit).

Tujuan utama pemboran inti adalah untuk mendapatkan contoh bahan galian secara vertikal yang berada di bawah permukaan tanah, disamping itu mengetahui ketebalannya. Teknik meletakan titik lokasi pemboran inti ini agar didapatkan kedalaman yang maksimal dilakukan dengan bantuan peta geologi dan peta topografi. Oleh sebab itu apabila di daerah tersebut belum atau tidak didapatkan peta topografi dengan skala yang memadai, maka perlu dibuat peta topografinya terlebih dahulu. Sedangkan alat untuk melakukan pemboran inti adalah Alat Bor Auger yang dioperasikan dengan manual (oleh tenaga manusia) dan Alat bor inti, yang dioperasikan dengan mesin.

Sedangkan pembuatan sumur uji bertujuan untuk mendapatkan vasriasi data bahan galian secara vertikal yang berada di bawah permukaan. Tidak seperti pada pemboran inti, kedalaman perolehan data cukup dangkal, disamping pembuatannya dilakukan dengan tenaga manusia dengan peralatan sederhana. Antara lain sekop, linggis, gancu, pacul dan ember. Pembuatan sumur uji dilaksanakan terutama pada batuan yang lunak.

EKSPLOITASI
Umumnya, bahan galian industri terdapat di dekat permukaan tetapi juga ada yang terdapat dan terkumpul di bawah permukaan tanah yang relatif agak dalam. Selain itu bahan galian tersebut ada yang keras. Ada yang lunak bahkan setengah kompak. Karena terdesak keperluan bahkan ada galian yang berada di bawah air. Atas dasar cara kerjanya, bahan galian industri biasanya ditambang dengan cara: digali, disemprot dengan pompa bertekanan tinggi, dan disedot dengan pompa hisap.

Berdasarkan tempat kegiatan pertambangan, maka eksploitasi juga dilakukan dengan cara Tambang Terbuka, Tambang Bawah Tanah, dan juga Peledakan.

Tambang terbuka, semua kegiatan penambangan dilakukan di permukaan bumi. Pada kegiatan penambangan ini khususnya untuk bahan galian industri disebut sebagai kuari. Berdasarkan atas produk yang dihasilkan, letak dan bentuknya dibagi menjadi kuari tipe sisi bukit, dan kuari tipe lubang galian.

Sedangkan tambang bawah tanah, dikenal dengan lubang tikus (atau geophering), yang diterapkan untuk endapan bahan galian industri atau urat bijih dengan bentuk dan ukuran tidak teratur serta tersebar tidak merata. Arah penambangan biasanya mengikuti arah bentuk endapan atau urat bijih yang ditambang. Beberapa contoh penambangan sistem lubang tikus antara lain terdapat pada tambang posphat di daerah Ciamis Jawa Barat.

Dalam melaksanakan tambang terbuka dengan tahapan kerja yang dilakukan adalah: pengupasan tanah penutup (atau land clearing). Bagian tanah penutup yang subur setelah dikupas, dipindahkan ke tempat penimbunan.

PELEDAKAN
Pada pekerjaan tambang, tujuan penggunaan bahan peledak terutama untuk membongkar batuan/ bahan galian dari batuan induknya. Secara garis besar jenis bahan peledak dibedakan menjadi: Bahan peledak mekanis, bahan peledak kimia, dan bahan peledak nuklir.

Itulah sekilas aktivitas "sederhana" dari industri keruk. Untuk melakukannya, pengusaha biasanya menanam investasi besar dan tidak main-main. Mereka bukan hanya mengorbankan uang, melainkan juga merusak "keaslian alam" yang menyimpan keanekaragaman hayati luar biasa. EB

SUMBER: Buku berjudul Bahan Galian Industri, karangan Sukandarrumuidi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999.